Kami
sudah menikah selama 5 tahun. Kesabaran
saya sudah hampir habis karena kami sering konflik yang tidak pernah selesai. Masalahnya adalah suami saya tidak pernah bisa
berubah. Ternyata, dia tidak seperti
yang saya harapkan. Seharusnya dia bisa
membuat saya bahagia dan lebih memperhatikan saya. Kalau saya menegur dia, kami
bertengkar hebat dan suami bilang saya istri yang suka menuntut dan mau menang
sendiri. Bagaimana caranya supaya suami saya bisa berubah ?
(Hana,
33 tahun)
Ibu
Hana,
Terima kasih untuk
pertanyaan Anda. Terima kasih juga untuk kejujuran Anda atas perasaan Anda
terhadap diri sendiri.
Saya bisa memahami perasaan Anda, sungguh
tidak nyaman rasanya apabila suasana di dalam rumah sarat dengan konflik
berkepanjangan. Dan tentunya sangat
melelahkan jika sudah lama menantikan perubahan dari pasangan, tetapi dia belum
berubah seperti yang Anda harapkan.
Well, sesungguhnya pernikahan yang sehat bukanlah pernikahan yang tidak
pernah konflik, tetapi bisa menyelesaikan konflik dan setelah itu
masing-masing semakin mengenal dan
mengasihi satu sama lain. Kemudian RELASI suami istri akan semakin bertumbuh.
Nah, seringkali konflik pernikahan terjadi karena
ada kebutuhan dan tujuan yang tidak tercapai serta harapan yang tidak
terpenuhi, seperti yang ibu alami.
Dalam
memasuki pernikahan, biasanya pasangan suami istri sama-sama memiliki tujuan
dan harapan masing-masing. Tanpa sadar,
tujuan pribadi dibawa masuk ke dalam pernikahan. Jika masing-masing
mempertahankan tujuannya sendiri, maka konflik yang besar sudah menanti.
Padahal di dalam pernikahan, DUA telah MENJADI SATU! Maka.... alangkah baiknya tujuan pribadi
perlahan-lahan mengarah kepada tujuan bersama.
Demikian
pula ada harapan-harapan terhadap pasangan kita. Hampir semua konflik mempunyai
tema yang serupa, yaitu bahwa kita merasa pasangan tidak lagi seperti yang kita
harapkan atau dengan kata lain kita berkata, “Engkau tidak hidup seperti
yang aku harapkan!” atau “Engkau seharusnya......”, “Engkau
semestinya...............”.
Jika
demikian, maka harapan telah berubah menjadi tuntutan. Apabila dalam pernikahan
dipenuhi tuntutan demi tuntutan, maka tidaklah heran jika relasi suami isteri
semakin memburuk.
Jadi,
bagaimana sebaiknya menyikapi perbedaan dan
meningkatkan RELASI suami istri ?
Ada
beberapa hal yang perlu disadari, sebagai berikut :
- Pasangan kita bukanlah orang yang sempurna.
Saat mengucapkan janji pernikahan, kita
menerima pasangan kita ‘SATU PAKET’, yang berisi kelebihan dan juga
kelemahannya.
Tanpa sadar kita seringkali menuntut pasangan
atau ingin mengubahnya sesuai dengan keinginan kita. Kemudian kita menjadi marah
dan kecewa saat pasangan gagal memenuhi tuntutan kita.
Oleh karena itu, kita perlu belajar menerima
pasangan sebagaimana dia adanya, karena itulah keunikan dirinya, itulah
pribadinya, dialah orang kita pilih untuk menjalani kehidupan sampai maut
memisahkan.
Apabila ada pelanggaran yang dilakukan
pasangan, Firman Tuhan TIDAK mengajarkan kita untuk memarahi pasangan, melainkan mendoakan dan memimpin
ke jalan yang benar dalam roh yang lemah lembut (Galatia 6:1).
- Kehidupan pernikahan adalah penyesuaian, sehingga dibutuhkan ketrampilan beradaptasi (adaptibility). Ketrampilan adaptasi diperlukan setiap hari, karena pernikahan adalah menyatunya dua pribadi dengan karakter, kebiasaan, latar belakang, respons, intelektual, emosi, jiwa, hobi, keinginan yang berbeda.
Sebagai contoh, ketika suami cepat dan istri
lambat bagaimana caranya? Ketemunya di tengah, baru bisa sama-sama mengarungi lautan. Yang satu belajar memperbaiki diri,
yang satu belajar untuk mengerti kelemahan pasangannya.
- Salah satu tujuan pernikahan adalah pertumbuhan.
Mau tidak mau, karakter kita akan dibentuk oleh
pasangan kita.
Contohnya : kita bertumbuh dalam pengampunan
saat pasangan berbuat kesalahan, bertumbuh dalam kesabaran, belajar untuk lebih
pengertian, belajar menurunkan ego, belajar mengutamakan kepentingan
bersama.
Oleh karena itu, teruslah bertumbuh dan jangan
berhenti di tempat.
- Dalam pernikahan, fokusnya bukan SAYA lagi, tapi KITA (WE).
Misalnya, dalam mengambil keputusan, tujuannya
adalah demi kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi.
SATU hal
lagi yang terpenting, sebuah riset majalah Red Book di Amerika
menyimpulkan bahwa dari hasil survei menjelaskan, ternyata orang-orang yang
religius akan mengalami marriage fullfilment. Artinya, pasangan yang menempatkan TUHAN sebagai
yang UTAMA dan menerapkan
prinsip-prinsip Firman Tuhan, mereka akan memperoleh kepuasan dalam pernikahan.
Hal ini sesuai
dengan Firman Tuhan yang menuliskan, “Jikalau bukan Tuhan yang membangun
rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya...” (Mazmur 127:1a).
Aplikasinya
adalah : biarlah kehendak dan rencanaNya yang dinyatakan dalam kehidupan
pernikahan, bukan kehendak masing-masing pribadi.
Ingatlah
bahwa kita fokus pada RELASI dan bukan pada masalah itu sendiri.
Masalah
dalam pernikahan selalu ada, tapi relasi yang baik selalu dapat menyelesaikan
masalah.
Marilah
terus bertumbuh dalam pernikahan! Tuhan Yesus memberkati !
No comments:
Post a Comment