Wednesday, 17 September 2014

Pasanganku tidak seperti yang kuharapkan...



Kami sudah menikah selama 5 tahun.  Kesabaran saya sudah hampir habis karena kami sering konflik yang tidak pernah selesai.  Masalahnya adalah suami saya tidak pernah bisa berubah.  Ternyata, dia tidak seperti yang saya harapkan.  Seharusnya dia bisa membuat saya bahagia dan lebih memperhatikan saya. Kalau saya menegur dia, kami bertengkar hebat dan suami bilang saya istri yang suka menuntut dan mau menang sendiri. Bagaimana caranya supaya suami saya bisa berubah ? 
(Hana, 33 tahun)

Ibu Hana, 
Terima kasih untuk pertanyaan Anda. Terima kasih juga untuk kejujuran Anda atas perasaan Anda terhadap diri sendiri.
Saya bisa memahami perasaan Anda, sungguh tidak nyaman rasanya apabila suasana di dalam rumah sarat dengan konflik berkepanjangan. Dan tentunya  sangat melelahkan jika sudah lama menantikan perubahan dari pasangan, tetapi dia belum berubah seperti yang Anda harapkan.

Well, sesungguhnya pernikahan yang sehat bukanlah pernikahan yang tidak pernah konflik, tetapi bisa menyelesaikan konflik dan setelah itu masing-masing  semakin mengenal dan mengasihi satu sama lain. Kemudian RELASI suami istri akan semakin bertumbuh.

Nah,  seringkali konflik pernikahan terjadi karena ada kebutuhan dan tujuan yang tidak tercapai serta harapan yang tidak terpenuhi, seperti yang ibu alami.
Dalam memasuki pernikahan, biasanya pasangan suami istri sama-sama memiliki tujuan dan harapan masing-masing.  Tanpa sadar, tujuan pribadi dibawa masuk ke dalam pernikahan. Jika masing-masing mempertahankan tujuannya sendiri, maka konflik yang besar sudah menanti. Padahal di dalam pernikahan, DUA telah MENJADI SATU!  Maka.... alangkah baiknya tujuan pribadi perlahan-lahan mengarah kepada tujuan bersama.
Demikian pula ada harapan-harapan terhadap pasangan kita. Hampir semua konflik mempunyai tema yang serupa, yaitu bahwa kita merasa pasangan tidak lagi seperti yang kita harapkan atau dengan kata lain kita berkata, “Engkau tidak hidup seperti yang aku harapkan!” atau “Engkau seharusnya......”, “Engkau semestinya...............”.

Jika demikian, maka harapan telah berubah menjadi tuntutan. Apabila dalam pernikahan dipenuhi tuntutan demi tuntutan, maka tidaklah heran jika relasi suami isteri semakin memburuk.

Jadi, bagaimana sebaiknya menyikapi  perbedaan dan meningkatkan RELASI suami istri ?
Ada beberapa hal yang perlu disadari, sebagai berikut :
  1. Pasangan kita bukanlah orang yang sempurna.
Saat mengucapkan janji pernikahan, kita menerima pasangan kita ‘SATU PAKET’, yang berisi kelebihan dan juga kelemahannya.
Tanpa sadar kita seringkali menuntut pasangan atau ingin mengubahnya sesuai dengan keinginan kita. Kemudian kita menjadi marah dan kecewa saat pasangan gagal memenuhi tuntutan kita.
Oleh karena itu, kita perlu belajar menerima pasangan sebagaimana dia adanya, karena itulah keunikan dirinya, itulah pribadinya, dialah orang kita pilih untuk menjalani kehidupan sampai maut memisahkan.
Apabila ada pelanggaran yang dilakukan pasangan, Firman Tuhan TIDAK mengajarkan kita untuk memarahi  pasangan, melainkan mendoakan dan memimpin ke jalan yang benar dalam roh yang lemah lembut (Galatia 6:1).

  1. Kehidupan pernikahan adalah penyesuaian, sehingga dibutuhkan ketrampilan beradaptasi (adaptibility). Ketrampilan adaptasi diperlukan setiap hari, karena pernikahan adalah menyatunya dua pribadi dengan karakter, kebiasaan, latar belakang, respons, intelektual, emosi, jiwa, hobi, keinginan yang berbeda.
Sebagai contoh, ketika suami cepat dan istri lambat bagaimana caranya? Ketemunya di tengah, baru bisa sama-sama mengarungi  lautan. Yang satu belajar memperbaiki diri, yang satu belajar untuk mengerti kelemahan pasangannya.

  1. Salah satu tujuan pernikahan adalah pertumbuhan. 
Mau tidak mau, karakter kita akan dibentuk oleh pasangan kita. 
Contohnya : kita bertumbuh dalam pengampunan saat pasangan berbuat kesalahan, bertumbuh dalam kesabaran, belajar untuk lebih pengertian, belajar menurunkan ego, belajar mengutamakan kepentingan bersama. 
Oleh karena itu, teruslah bertumbuh dan jangan berhenti di tempat.

  1. Dalam pernikahan, fokusnya bukan SAYA lagi, tapi KITA (WE).
Misalnya, dalam mengambil keputusan, tujuannya adalah demi kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi.

SATU hal lagi yang terpenting, sebuah riset majalah Red Book di Amerika menyimpulkan bahwa dari hasil survei menjelaskan, ternyata orang-orang yang religius akan mengalami marriage fullfilment. Artinya,  pasangan yang menempatkan TUHAN sebagai yang UTAMA  dan menerapkan prinsip-prinsip Firman Tuhan, mereka akan memperoleh kepuasan dalam pernikahan.
Hal ini sesuai dengan Firman Tuhan yang menuliskan, “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya...” (Mazmur 127:1a).
Aplikasinya adalah : biarlah kehendak dan rencanaNya yang dinyatakan dalam kehidupan pernikahan, bukan kehendak masing-masing pribadi.

Ingatlah bahwa kita fokus pada RELASI dan bukan pada masalah itu sendiri.
Masalah dalam pernikahan selalu ada, tapi relasi yang baik selalu dapat menyelesaikan masalah.
Marilah terus bertumbuh dalam pernikahan! Tuhan Yesus memberkati !

No comments:

Post a Comment